PEMANFAATAN DAUN BINAHONG (Anredera cordifolia)
Senin, 30 Desember 2019
Edit
LAPORAN PENELITIAN
chemistry innovation project universitas indonesia 2018
PEMANFAATAN DAUN BINAHONG (Anredera cordifolia) SEBAGAI DABITAWET (DAUN
BINAHONG TAHU AWET) UNTUK PENGAWET ALAMI TAHU
Garuda Nusantara Putra Utomo1,Fajriatul Mufarriha Sunni2 , Putri Oktavia Zudar 3
SMA Negeri 1 Lamongan
E-mail: sorghumfoam@gmail.com
ABSTRAK
Tahu merupakan salah satu makanan tradisional yang populer
karena ekonomis, bentuknya sederhana dan
mempunyai kandungan gizi yang tinggi (Margono, 1993). Agar awet,
seringkali pengawet formalin ditambahkan ke dalam tahu (Koswara, 2011). Padahal
di
Indonesia, banyak tumbuh-tumbuhan yang bisa dimanfaatkan untuk mengawetkan
tahu
seperti daun binahong. Menurut Tshikalange et al., (2005) ekstrak air akar
binahong dengan dosis 50 mg/ml memiliki daya hambat terhadap bakteri
Gram-positif serta bakteri Gram-negatif pada dosis
60 mg/ml, tetapi tidak pada bakteri B.sereus. Berdasarkan faktafakta tersebut,
peneliti membuat penelitian dengan judul, “Pemanfaatan Daun Binahong
(Anredera
cordifolia) sebagai DABITAWET (Daun Binahong Tahu Awet) untuk
Pengawet
Alami Tahu”. Tujuan penelitian ini adalah: 1) Untuk mengetahui DABITAWET
(Daun Binahong Tahu Awet) dapat digunakan untuk pengawet alami tahu;
2)
Untuk mengetahui konsentrasi daun binahong terbaik untuk DABITAWET (Daun
Binahong
Tahu Awet); Metode penelitian ini adalah literatur dan eksperimen. Dalam
pelaksanaan
eksperimen, peneliti membuat 6 jenis dengan berbagai konsentrasi daun
binahong
yaitu DABITAWET A: 50%, DABITAWET B: 45%, DABITAWET C: 40%, DABITAWET
D: 35%, DABITAWET E dengan: 30%, dan DABITAWET F: 25%. Kesimpulan
pada penelitian ini adalah: 1) DABITAWET (Daun Binahong Tahu Awet)
dapat
digunakan untuk pengawet alami tahu; 2) Konsentrasi daun binahong terbaik untuk
DABITAWET
(Daun Binahong Tahu Awet) adalah 50%.
Kata kunci : DABITAWET (Daun Binahong Tahu Awet).
I. PENDAHULUAN
Indonesia sebagai negara tropis
memiliki potensi besar untuk memproduksi makanan berprotein. Salah satu sumber
bahan pangan yang banyak mengandung protein potensial tinggi ialah tahu. Tetapi
jika diinginkan meningkatkan produksi tahu perlu pula dikembangkan teknologi
pengawetannya. Hal ini perlu agar tahu dapat dibawa ketempat-tempat konsumen
yang jauh dari sumber produksi.
Tahu
merupakan salah satu makanan tradisional yang populer karena ekonomis,
bentuknya sederhana dan mempunyai kandungan gizi yang tinggi (Margono, 1993).
Tingginya kandungan air dan protein pada tahu yaitu masing-masing 86% dan 8-12%
menyebabkan tahu bersifat mudah rusak (busuk). Daya tahan tahu pada suhu kamar
rata-rata 1-2 hari. Jika lebih dari batas tersebut, rasanya menjadi asam lalu
berangsur-angsur menjadi busuk sehingga tidak layak dikonsumsi lagi. Komposisi
tersebut menyebabkan tahu menjadi media yang cocok untuk pertumbuhan
mikroorganisme pembusuk, terutama bakteri (Margono, 1993).
Untuk
menjaga kualitas tahu dari serangan bakteri pembusuk dan memberikan tekstur
tahu yang kenyal, para produsen tahu sering menambahkan bahan pengawet saat
proses pengolahan. Bahan pengawet yang sering digunakan oleh produsen tahu
umumnya ialah pengawet yang dilarang penggunaannya seperti foramalin (Koswara,
2011). Hasil BPOM menunjukkan 97 persen dari 455 unit produsen tahu di
Jabodetabek menggunakan formalin sebagai pengawet (BPOM, 2009).
Formalin
sebagai salah satu bahan kimia, sampai sekarang banyak digunakan sebagai
pengawet ikan, daging, ayam dan hasil olahannya. Hal ini meresahkan masyarakat
karena formalin adalah bahan kimia yang berbahaya, jika digunakan untuk pangan.
Formalin biasanya digunakan untuk mengawetkan mayat atau preparat lain yang
digunakan untuk penelitian.
Peraturan
Menteri Kesehatan Republik Indonesia No.1168/MENKES/PER/X Tahun 1999,
disebutkan larangan penggunaan formalin sebagai bahan tambahan makanan dalam
makanan. Formalin merupakan zat kimia racun bila tertelan akan menyebabkan
iritasi lambung, mual muntah, mulas, mimisan, kerusakan ginjal, radang
paru-paru, gangguan jantung, kerusakan hati, kerusakan saraf, iritasi kulit,
kebutaan, kerusakan organ reproduksi, bahkan kematian.
Adanya
peningkatan taraf hidup,dan perubahan pola hidup serta peningkatan pengetahuan
dan kesadaran pentingnya menjaga kesehatan telah mengubah pola pikir sebagian
masyarakat untuk cenderung memilih produk pangan alami daripada produk pangan
yang diawetkan dengan menggunakan bahan pengawet sintetik. Perubahan tersebut
mendorong banyaknya penelitian yang dilakukan untuk mencari solusi melepaskan
ketergantungan terhadap pengawet sintetik dan kembali ke alam ( back to nature
) termasuk mencari alternatif pengawet / seyawa antimikroba alami.
Indonesia
merupakan pusat keanekaragaman hayati di dunia setelah Brazillia dan Tanzania.
Banyak sekali tumbuh-tumbuhan yang bisa dimanfaatkan untuk mengawetkan bahan
pangan. Salah satu dari keanekaragaman hayati tersebut adalah Anredera
cordifolia (Ten.) Steenis yang lebih dikenal dengan nama Binahong. Tanaman
binahong (Anredera cordifolia (Ten.) Steenis) adalah tanaman obat potensial
yang dapat mengatasi berbagai jenis penyakit. Tanaman ini berasal dari dataran
Cina dengan nama asalnya adalah Dheng shan chi, dikenal dengan sebutan Madeira
Vine. (Manoi, 2009)
Bagian
tanaman binahong yang bermanfaat sebagai obat pada umumnya adalah rhizome, akar
dan daun. Penelitian mengenai aktivitas antibakteri daun binahong dan kandungan
metabolit sekundernya pernah dilakukan, bahwa dalam simplisia daun binahong
terkandung senyawa
alkaloid,
polifenol, dan saponin (Annisa dan nurul, 2007)
Menurut
Tshikalange et al., (2005) ekstrak air akar binahong dengan dosis 50 mg/ml
memiliki daya hambat terhadap bakteri Gram-positif (B.pumilus,B.subtilis dan
S.aureus) serta bakteri Gram-negatif (Enterobacter cloacae, E.coli, Klebsiella
pneumonia, Serratia marcescens, dan Enterobacter aerogenes) pada dosis 60
mg/ml, tetapi tidak pada bakteri B.sereus.
Rachmawati
(2007) telah melakukan skrining fitokimia daun Binahong (Anredera Cordifolia
(Ten ) Steenis dengan melakukan maserasi terhadap serbuk kering daun dengan
menggunakan pelarut n-heksana dan metanol didapatkan kandungan kimia berupa
Saponin triterpenoid, flavanoid dan minyak atsiri. Rochani (2009), melakukan
ekstraksi dengan cara maserasi daun binahong dengan menggunakan pelarut
petroleum eter, etil asetat dan etanol, setelah dilakukan uji tabung ditemukan
kandungan alkaloid, saponin dan flavanoid, sedangkan pada Analisis secara KLT
ditemukan senyawa alkaloid, saponin dan flavanoid. Setiaji (2009) telah
melakukan ekstraksi pada rhizome binahong dengan pelarut etil asetat, petroleum
eter, dan etanol 70% di dapatkan senyawa alkaloid, saponin flavonoid dan
polifenol.
Konsentrasi
Hambat Minimum (KHM) ekstrak daun Binahong terhadap bakteri Staphylococcus
aureus adalah pada konsentrasi 25 % yang setara dengan 250 mg/ml. Sedangkan
pada bakteri Pseudomonas aeruginosa KHM pada konsentrasi 50% setara dengan 500
mg/ml. Konsentrasi Bunuh Minimum (KBM) ekstrak daun Binahong terhadap bakteri
Staphylococcus aureus adalah pada konsentrasi 50% setara dengan 500 mg/ml,
sedangkan pada bakteri Pseudomonas aeruginosa pada konsentrasi 100% setara
dengan 1000 mg/ml. (Mufid K, 2010)
Berdasarkan
fakta-fakta tersebut diatas, penulis akan mengadakan penelitian dengan judul,
“Pemanfaatan Daun Binahong (Anredera
cordifolia) sebagai DABITAWET (Daun Binahong Tahu Awet) untuk Pengawet
Alami Tahu”.
II. METODE
A. Prosedur
Penelitian
a. Metode
literatur digunakan untuk mencari informasi awal yang berkaitan dengan ide atau
gagasan dalam pembuatan DABITAWET (Daun Binahong Tahu Awet) untuk Pengawet
Alami Tahu
b. Metode
eksperimen terdiri atas pengujian pH dan uji organoleptik dimana subjek diambil
dari 30 panelis yang terdiri dari 15 siswa dan 15 guru yang diambil secara
acak. Hasil uji organoleptik tiap panelis kemudian dirata-rata.
B. Pembuatan DABITAWET
(Daun Binahong Tahu Awet) untuk Pengawet Alami Tahu
Alat
yang dibutuhkan dalam penelitian ini adalah :
1) Ember
kecil / mangkok ukuran sedang;
2) Baskom;
3) Kompor;
4) Kertas
lakmus.
Bahan
yang dibutuhkan dalam penelitian ini adalah :
1) Ekstrak
daun Binahong dengan konsentrasi 50%, 45%, 40%, 35%, 30% dan 25%;
2) Tiga
puluh tahu putih.
C. Langkah Kerja
1.
Menyiapkan daun binahong
yang diambil dari pohon pada ruas kelima sampai kesepuluh dari ujung batang.
2.
Memasukkan daun binahong
dan air ke dalam baskom dengan konsentrasi :
a.
50 % (500mg daun binahong
+ 500 ml air)
b.
45% (450 mg daun binahong
+ 550 ml air)
c.
40% (400 mg daun binahong
+ 600 ml air)
d.
35% (350 mg daun binahong
+ 650 ml air)
e.
30% (300 mg daun binahong
+ 700 ml air)
f. 25% (250 mg daun binahong + 750 ml
air)
3.
Merebus daun binahong
dengan nyala api sedang hingga airnya tersisa setengah (± ½ jam).
4.
Mengangkat rebusan daun
binahong tersebut dan diamkan hingga dingin.
5.
Menyiapkan tahu putih
sebanyak 30 buah.
6.
Menyiapkan 8 buah ember
kecil atau mangkok berukuran sedang.
Masing-masing mangkok diberi label
DABITAWET A, DABITAWET B, DABITAWET C, DABITAWET D, DABITAWET E, DABITAWET
F.
7.
Memasukkan 5 buah tahu
kedalam masing-masing mangkok yang telah diberi label.
8.
Mencampur tahu A dengan
ekstrak daun binahong 50%, tahu B dengan ekstrak daun Binahong 45%, tahu C
dengan ekstrak daun binahong 40%, tahu D dengan ekstrak daun binahong 35%, tahu
E dengan ekstrak daun Binahong 30%, tahu F dengan ekstrak daun Binahong 25%.
9.
Mangkok-mangkok tersebut
ditaruh dalam suhu ruangan.
10. Mengamati
perubahan yang terjadi pada tiap-tiap tahu meliputi pH, aroma, warna dan
konsistensi. Pengamatan tersebut dilakukan setiap sore hari jam 16.00 WIB.
11. Mencatat
perubahan masing-masing tahu. (dalam satuan hari)
12. Memasukkan
data hasil penelitian kedalam tabel.
D. Teknik
Analisis Data
Teknik
analisis data yang digunakan dalam penelitian ini adalah deskriptif
kuantitatif.
III. HASIL DAN
PEMBAHASAN
a. Hasil
a.1 Hasil Pengujian pH
Diagram
4.1 Hasil Pengujian pH
Keterangan:
: DABITAWET B
: DABITAWET C
: DABITAWET D
: DABITAWET E
: DABITAWET F
a.2
Hasil Uji Organoleptik
Tabel
I. Hasil Uji Organoleptik
Data
uji organoleptik selama tujuh hari pengamatan
Hari ke-1
|
||||||
Parameter
|
50%
|
45%
|
40%
|
35%
|
30%
|
25%
|
Aroma
|
3
|
3
|
4
|
4
|
4
|
4
|
Warna
|
4
|
4
|
4
|
4
|
4
|
4
|
Konsistensi
|
4
|
4
|
4
|
4
|
4
|
4
|
Hari Ke-2
|
||||||
Parameter
|
50%
|
45%
|
40%
|
35%
|
30%
|
25%
|
Aroma
|
3
|
3
|
4
|
4
|
4
|
4
|
Warna
|
4
|
4
|
4
|
4
|
4
|
4
|
Konsistensi
|
4
|
4
|
4
|
4
|
4
|
3
|
Hari Ke-3
|
||||||
Parameter
|
50%
|
45%
|
40%
|
35%
|
30%
|
25%
|
Aroma
|
3
|
3
|
4
|
4
|
4
|
3
|
Warna
|
3
|
4
|
4
|
4
|
4
|
4
|
Konsistensi
|
4
|
4
|
4
|
4
|
4
|
3
|
Hari ke-4
|
||||||
Parameter
|
50%
|
45%
|
40%
|
35%
|
30%
|
25%
|
Aroma
|
3
|
3
|
4
|
3
|
3
|
2
|
Warna
|
3
|
3
|
4
|
4
|
4
|
3
|
Konsistensi
|
4
|
4
|
3
|
3
|
3
|
2
|
Hari ke-5
|
||||||
Parameter
|
50%
|
45%
|
40%
|
35%
|
30%
|
25%
|
Aroma
|
3
|
3
|
3
|
2
|
3
|
3
|
Warna
|
3
|
3
|
3
|
3
|
3
|
4
|
Konsistensi
|
3
|
4
|
4
|
4
|
3
|
3
|
Hari ke-6
|
||||||
Parameter
|
50%
|
45%
|
40%
|
35%
|
30%
|
25%
|
Aroma
|
3
|
3
|
2
|
3
|
3
|
2
|
Warna
|
3
|
3
|
3
|
3
|
2
|
3
|
Konsistensi
|
4
|
3
|
2
|
3
|
3
|
3
|
Hari ke-7
|
|
|
|
|
|
|
Parameter
|
50%
|
45%
|
40%
|
35%
|
30%
|
25%
|
Aroma
|
3
|
3
|
2
|
3
|
3
|
2
|
Warna
|
3
|
2
|
3
|
2
|
2
|
2
|
Konsistensi
|
3
|
3
|
2
|
3
|
2
|
2
|
b. Pembahasan
Kemampuan
daun binahong sebagai antibakteri didukung oleh penelitian Mufid K (2010) yang
menyatakan bahwa daun binahong bersifat antibakteri. Kemampuan daun binahong
dalam menghambat bakteri gram positif dan gram negatif yakni bakteri S. Aureus
dan P. Aeruginosa dengan konsentrasi hambat minimum 25% - 50% dan konsentrasi
butuh minimum 50%-100%.
Pengukuran
derajat keasaman (pH) tahu bertujuan mengetahui perubahan nilai pH tahu selama
penyimpanan. Secara umum, pola perubahan pH tahu selama tiga hari penyimpanan
dengan ekstrak daun binahong dengan konsentrasi 50%, 45%, 40%, 35%, dan 30%
cukup baik. Hal ini ditandai dengan perubahan pH yang masih berada pada kisaran
normal yang diizinkan SNI yaitu (4,0 – 5,0) (SNI 1992). Perlakuan tahu yang
masih baik dan pH berada pada kisaran SNI hingga hari ke-7 adalah perlakuan
pada konsentrasi 50% (Diagram 4.1). Menurut Koswara (2006), tahu bersifat mudah
rusak pada suhu ruang dengan daya tahan 1-2 hari. Pengamatan selama tujuh hari
menunjukkan bahwa perlakuan ekstrak daun binahong terdapat masa simpan tahu
cukup baik dalam mengawetkan tahu.
Tujuan
uji organoleptik ialah mengetahui tanggapan panelis terhadap produk tahu yang
diawetkan dengan ekstrak daun binahong. Ketiga parameter dinilai melalui skor
1-4. Tahu yang dianggap masih segar dan baik ialah tahu dengan standar skor
warna, aroma dan konsistensi rata-rata minimal 3. Secara keseluruhan skor
tersebut mewakili spesifikasi berikut :
4
= kondisi tahu sangat baik
3=
kondisi tahu masih baik
2=
kondisi tahu kurang baik
1=
kondisi tahu tidak baik
Secara
umum perlakuan dengan variasi
konsentrasi ekstrak memiliki mutu organoleptik yang masih baik hingga hari ke-4
namun mutu tahu mulai menurun sejak hari ke-5, hanya tahu yang diberi perlakuan
pada konsentrasi ekstrak 50%, 45% dan 40% saja yang masih baik. Hal ini
ditandai dengan tekstur tahu yang padat dan tidak berlendir namun permukaan
tahu menjadi keras dan berwarna coklat akibat komponen fitokimia pada daun
binahong. Perendaman tahu pada larutan formalin membuat tekstur permukaan tahu
menjadi keras, beraroma formalin, dan warna tahu menjadi lebih putih daripada
warna awal sebelum perlakuan.
IV. KESIMPULAN DAN SARAN
A. Kesimpulan
Kesimpulan
yang didapatkan dalam penelitian ini adalah:
1. DABITAWET (Daun Binahong Tahu Awet) dapat digunakan untuk
pengawet alami tahu.
2. Konsentrasi
daun binahong terbaik untuk DABITAWET (Daun Binahong Tahu Awet) adalah 50%.
B. Saran
Saran yang peneliti ajukan dalam
penelitian ini adalah:
1.
Untuk penelitian
selanjutnya agar ada uji antibakteri dari ekstrak daun binahong tersebut.
2.
Sebaiknya pengawetan tahu
menggunakan bahan pengawet yang tidak berbahaya bagi tubuh manusia.
G.
UCAPAN TERIMA KASIH
Puji syukur
kepada Allah SWT, yang telah melimpahkan rahmat dan hidayah-Nya kepada penulis.
Sehingga penulis dapat menyelesaika laporan penelitian ini dengan lancar.
tepat pada waktu
yang telah disediakan.
Keberhasilan
penulisan karya tulis ini tidak lepas dari bantuan pihak-pihak yang terkait,
karena itu penulis menyampaikan banyak terima kasih kepada:
1.
Kedua orang tua
atas semua do’a, cinta, kasih sayang, dukungan, dan perjuangan yang tiada
henti-hentinya.
2.
Ibu Dra. Retno
Suprijatingsih selaku Guru Pembimbing yang telah banyak membantu dalam
penyusunan laporan penelitian ini.
3.
Semua pihak yang
telah membantu dalam penyusunan laporan penelitian ini, baik secara langsung
maupun tidak langsung.
Akhirnya kepada Allah SWT jualah senantiasa penulis
berharap semoga pengorbanan dan segala sesuatunya yang dengan tulus dan ikhlas
telah diberikan dan penulis dapatkan selalu mendapat limpahan rahmat dan
hidayah-Nya, Aamiin.
Lamongan, Maret
2018
Penulis
V.
DAFTAR PUSTAKA
Ajizah,
A. 2004. Sensitivitas Salmonella Typhimurium Terhadap Ekstrak Daun Psidium
Guajava L. Bioscientie, VOL 1 NO.1: 31-8
Akiyama,
H. F., K. Iwatsuki, T. 2001. Antibacterial Action Of Several Tennis Agains Staphylococcus aureus. Journal of
Antimicrobial Chemoterapy. Vol. 48: 48791.
Annisa,
N. 2007. Uji Aktivitas Antibakteri Ekstrak Air Daun Binahong (Anredera scandens
(L) Mor) Terhadap Bakteri Klebsiella pneumonia Dan Bacillus substilis ATCC 6633
Beserta Skrining Fitokimia Dengan Uji Tabung. Skripsi Tidak Diterbitkan
Yogyakarta : Fakultas Farmasi UGM Yogyakarta.
Anonim 2004. Garlic (Allium
Sativum). http://.Dietsite.com/dt/alternativenutrition/Herbs?garlic/asp.
(2 Juni 2011)
Cahyadi,
Wisnu. 2007. Kedelai Khasiat dan
Teknologi. Bumi Aksara. Jakarta. hal: 58-59
De
padua. 1999. Senyawa Kimia. Http://www.tempo.co.id/medica/arsip/122002/art3.htm diakses 30 Mei 2011.
Departemen
Kesehatan Republik Indonesia. 1992. Kumpulan
Perundang – undangan di Bidang Makanan. Edisi II. Ditjen POM Depkes RI.
Jakarta. hal:86-98
Departemen
Kesehatan Republik Indonesia. 2006. Mengenal Formalin. http://amalia07.files.wordpress.com/2008/07/mengenal-formalin.pdf
(21 Mei 2011)
Guenther,
E.2006. Minyak Atsiri. Jakarta:
penerbit UI. Harborne, J.B.1996. Metode
Fitokimia.Bandung:Institut Teknologi Bandung. Koswara, Sutrisno. Nilai Gizi, Pengawet dan
Pengolahan Tahu. http://www.ebookpangan.com/artikel/nilai%20gizi,%20pengolahan%20da n%20pengawetan%20tahu.pdf.
(21 Mei 2011).
Louis,
F.G. 2004. Saponin Glicosides .Georges
luis @friedli.com,http:www.friedli.com.herbsphytochem.glycosides.html. diakses tanggal
7 Juni 2011.
Manoi,
F. 2009. Binahong (Anredera
cordifolia)(Ten) Steenis Sebagai Obat. Jurnal Warta Penelitian Dan Pengembangan
Tanaman Industri.Volume 15 Nomor 1:3.
Mardiah;
Zakaria, Fransiska Rungkat; Asydhad, Lia Amalia. 2006. Makanan anti Kanker. Kawan Pustaka. Jakarta. hal:21
Margono,
Tri; Suryati, Detty; Hartinah, Sri. 1993. Buku
Panduan Teknologi Pangan., Pusat Informasi wanita dalam Pembangunan
PDII-LIPI. Jakarta. hal: 2-3
Markham,
K.R.1998. Cara mengidentifikasi
flavanoid. Bandung: penerbit ITB.
Mufid,
K. 2010. Uji Aktivitas Antibakteri Ekstrak Uji Antibakteri Ekstrak Daun Binahong
(Anredera cordifolia (Tenore) Steenis) terhadap bakteri Staphylococcus aureus dan Pseudomonas
aeruginosa. Skripsi Diterbitkan.
Malang : Fakultas MIPA UIN Malang.
Mus.
2008. Informasi Spesies Binahong Anredera
cordifolia (Ten.) Steenis. http://www.plantamor.com/spcdtail.php?recid=1387.
diakses tanggal 21 Mei 2011
Nurachman,
Z. 2002. Artoindonesianin Untuk Antitumor.http.www.chem-istrri.
diakses pada tanggal 31 Mei 2011.
Rachmawati,
S. 2007. Studi Makroskopi, Dan Skrining Fitokimia Daun Anredera Cordifolia
(Ten.) Steenis. Skripsi Tidak
Diterbitkan Surabaya: Faku Rochani, N. 2009.Uji Aktivitas Antijamur Ekstrak
Daun Binahong (Anredera cordifolia (Tenore) Steenis) Terhadap Candida albicans
Serta Skrining Fitokimianya. Skripsi Tidak
Diterbitkan. Surabaya :Fakultas Farmasi UMS Surakarta.ltas Farmasi UNAIR
Surabaya.
Robinson,
T. 1991.Kandungan Organik Tumbuhan
Tingkat Tinggi, diterjemahkan oleh Prof. Dr. Kosasih Padmawinata, Penerbit
ITB: Bandung.
Setiaji,
A. 2009. Uji Aktivitas Antibakteri Ekstrak Petroleum Eter, Etil Asetat Dan
Etanol 70% Rhizoma Binahong (Anredera cordifolia (Tenore) Steenis) Terhadap
Staphylococcus aureus ATCC 25923 Dan Escherichia coli ATCC 11229 Serta Skrining
Fitokimianya. Skripsi Tidak
Diterbitkan. Surakarta : Fakultas Farmasi UMS Surakarta.
Thomson,
R.H. 1993. The Chemistri Of Natural
Producst.2 Edition,chapman and hall ltd.glasgow,UK.
Uchida,
S. 2003. Production of a digital map of the hazardous conditions of soil
erosion for the sloping lands of West Java, Indonesia using geographic
information systems (GIS). JIRCAS. Indonesia. Diakses Tanggal 31 Mei 2011.
Widianti,
Evi, 2007. Bahan Pengawet
(Preservatives). kimia.upi.edu/utama/bahanajar/kuliah_web/2007/evi%20w/data%20penga
wet .pdf (31 Mei 2011)
Wilbranam,
Antony C;Matta, Michael S. 1992. Pengantar
Kimia Organik dan Hayati. Institut Teknologi Bandung. Bandung. hal:97