Inovasi BIOFOAM Alami Antibakteri
Senin, 30 Desember 2019
Edit
LAPORAN PENELITIAN
OLIMPIADE PENELITIAN SISWA INDONESIA (OPSI) 2018
INOVASI BIOFOAM ALAMI ANTIBAKTERI DENGAN TEKNIK THERMOPRESSING SEBAGAI UPAYA PENGURANGAN
LIMBAH SERTA PEMANFAATAN POTENSI LOKAL
Fajriatul Mufarriha Sunni1 dan
Wildan Zuhrif An Nabil2
SMA Negeri 1 Lamongan
E-mail: sorghumfoam@gmail.com
ABSTRAK
Sterofoam adalah bahan pengemas makanan yang banyak diminati. Namun dalam
penggunaannya, sterofoam mampu menimbulkan berbagai penyakit yang dapat merusak
tubuh. Bahan ini juga digolongkan sebagai bahan yang tidak dapat didaur oleh
alam sehingga sama sekali tidak ramah lingkungan. Kabupaten Lamongan adalah
daerah yang mempunyai potensi sangat besar di bidang pertanian dan perikanan.
Namun hal ini tidak dibarengi dengan pengolahan limbah yang baik. Permasalahan
di atas mendorong kami untuk menciptakan sebuah inovasi berupa biofoam yang
berbahan dasar sorghum, tongkol jagung, dan cangkang kepiting. Tujuan penelitian ini
adalah mengetahui apakah sorghum, tongkol jagung dan cangkang kepiting dapat di
gunakan
sebagai biofoam alami anti bakteri dengan penerapan teknik thermopressing serta mengetahui perbandingan
kualitas antara biofoam alami anti bakteri dengan sterofoam yang ada
di pasaran.. Metode penelitian yang digunakan adalah dengan melakukan uji
literatur untuk kemudian dipraktekkan dalam pembuatan biofoam kemudian hasil
pembuatan tersebut dilakukan uji eksperimen untuk megetahui perbandingan
kualitas biofoam dengan sterofoam yang sudah beredar di pasaran. Hasil dari
beberapa pengujian tersebut menunjukkan bahwa bahan-bahan tersebut dapat
digunakan sebagai bahan pembuatan biofoam yang mempunyai kualitas lebih baik
dari sterofoam yang beredar di pasaran.
Kata kunci : Biofoam, Cangkang
Kepiting, Sorghum, Tongkol Jagung, Thermopressing.
A. PENDAHULUAN
Gaya hidup saat
ini yang kian praktis mendorong meningkatnya penggunaan kemasan pada produk
makanan. Akibatnya, ketergantungan manusia pada kemasan dalam keseharian
sangatlah tinggi. Salah satu jenis kemasan plastik yang sering digunakan adalah
sterofoam. Pengunaan steroform
merupakan hal yang identik dengan pengemasan makanan baik
dalam kondisi panas maupun dingin [1]. International
Agency for Research on Cancer telah mengklasifikasikan sterofoam sebagai zat yang dapat menyebabkan
kangker. Peneliti menemukan bawa styrene meningkatkan resiko kanker pancreas
dan tenggorokan. Dalam sekali pemakaian sterofoam sekitar 0.025 % styrene dapat terkirim ke dalam tubuh
manusia baik dalam keadaan panas maupun dingin. Jika seseorang meminum air, teh
atau kopi dengan gelas sterofoam empat kali setiap harinya dalam tiga tahun
maka akan bernilai sama dengan
mengonsumsi satu buah gelas sterofoam
[2]. Materi dari styrofoam ini
bersifat
non-daur ulang dan non biodegradable (tidak dapat membusuk menjadi zat konstituen) sehingga untuk
menguraikannya
perlu waktu jutaan tahun [3]. Pada Juli 2001 Divisi
Keamanan Pangan Pemerintah Jepang menyatakan bahwa residu styrofoam dalam makanan sangat
berbahaya.
Adapun
bahan yang potensial untuk dimanfaatkan sebagai
bahan baku biopolymer adalah produk atau limbah
pertanian seperti pati dan selulosa [4].
Salah satu produk pertanian yang kaya
akan pati adalah sorghum (Sorghum bicolor) dengan kandungan pati
65-71% [5]. Produktivitas
rata-rata sorgum di Lamongan cukup tinggi, mencapai sekitar 6,5 ton per hektar
walaupun tidak banyak petani yang menanamnya. Menurut perwakilan dari Balai
Pengkajian Teknologi Pertanian (BPTP) Jawa Timur, Tri Sudariyono, produktivitas
sorgum Lamongan bahkan jauh lebih tinggi dari angka nasional yang hanya
berkisar antara 2 hingga 3 ton per hektar [6]. Indonesia termasuk negara yang
masih ketinggalan, baik dalam penelitian,
produksi, pengembangan, penggunaan, maupun ekspor
sorgum
[5]. Hal ini membuat sorghum menjadi komoditas yang kurang diperhatikan dan
mempunyai nilai jual rendah.
Bahan lain
yang sangat potensial adalah tongkol jagung. Produksi jagung di Indonesia
meningkat dari tahun ke tahun, dari sekitar 11 juta ton per tahun di 2004
menjadi 18 juta ton per tahun di 2014. Sehingga produksi tongkol jagung juga
meningkat yang jumlahnya sekitar 40% dari total produksi jagung, sekitar 7,5
juta ton di tahun 2014 [7]. Menteri Koperasi dan UKM, Anak Agung Ngurah (AAG)
Puspayoga sangat mengapresiasi Kabupaten Lamongan yang mempunyai produktivitas
jagung hingga 12 ton dan telah mengekspor produk olahannya ke mancanegara. Seiring dengan pengolahan
jagung menjadi produk siap jadi akan menghasilkan sampah
padat berupa tongkol jagung. Sehingga ketersediaan tongkol
jagung ini melimpah dan kontinyu pasca panen. Potensi ketersediaan
tongkol jagung yang melimpah ini perlu diiringi dengan
pemanfaatan
limbah padat ini menjadi barang setengah jadi atau bahan jadi [8]. Tongkol
jagung merupakan bahan berlignoselusa dengan kadar serat jauh
lebih tinggi bila dibandingkan dengan kadar
serat limbah pertanian lain [9]. Tongkol jagung berpotensi dimanfaatkan menjadi
bahan
lainnya karena mengandung kompleks lignin 6,7 – 13,9%, Hemiselulosa 39,8%,
selulosa
32,3 – 45,6% ([10]. Sehingga dengan kandungan tersebut limbah tongkol jagung
juga dapat dimanfaatkan sebagai sumber serat pada
biofoam.
Disamping itu, Indonesia
adalah negara pengekspor kepiting. Dengan ekspor kepiting (umumnya
kaleng) 4000 ton per
tahun juga
berpotensi menghasilkan kulit sebagai limbah sebanyak 1000 ton
per tahun [11].. Menurut data dinas perikanan Lamongan, Di lamongan sendiri
terdapat enam pabrik pengolahan kepiting berskala ekspor yang menghasilkan
limbah sekitar 10 ton perbulannya. Dengan demikian jumlah hasil samping
produksi
yang berupa cangkang kepiting yang umumnya 25-50 % dari berat,
sangat
berlimpah. Cangkang Kepiting mengandung persentase kitin
paling
tinggi (70%) diantara bangsa-bangsa krustasea, insekta,
cacing maupun fungi. Kitin inilah yang nantinya akan diasetilasi menjadi
kitosan [11]. Keunggulan kitosan adalah merupakan bahan alami. Penggunaan
dalam jumlah sedikit konsentrat, mempunyai muatan positif yang kuat yang dapat
mengikat negative dari senyawa lain atau sebagai detoksifikasi, menghambat
pertumbuhan bakteri serta mudah mengalami degradasi secara biologis dan tidak
beracun [12]. Dengan kandungan tersebut cangkang kepiting dapat dimanfaatkan
sebagai bahan anti bakteri.
Penguraian diatas memotivasi penulis
untuk mengatasi limbah serta menambah nilai guna potensi lokal dengan judul
“Inovasi Biofoam Alami Antibakteri Sebagai Upaya
Pengurangan Limbah Serta Pemanfaatan Potensi Lokal”
Proses pembuatan biofoam dilakukan dengan menggunakan thermopressing dimana adonan dicetak dan dipanaskan pada suhu dan tekanan tertentu selama beberapa waktu untuk
menghasilkan biofoam dengan tampilan
visual terbaik. Berdasarkan hasil penelitian suhu proses terbaik adalah 200oC
dengan lama waktu proses 3 menit untuk
kondisi proses ideal pembuatan biofoam. Sedangkan
volume adonan terbaik yang digunakan sekitar 50 g disesuaikan dengan komposisi bahan [13].
Rumusan masalah yang didapat dari uraian di atas adalah: 1. apakah sorghum, tongkol
jagung dan cangkang kepiting dapat
dimanfaatkan sebagai biofoam alami anti bakteri dengan penerapan teknik thermopressing? 2. Apakah biofoam alami anti
bakteri mempunyai kualitas yang lebih baik dari sterofoam yang ada di
pasaran ? Tujuan dari penelitian
ini adalah: 1. Untuk merancang biofoam alami anti bakteri dengan penerapan teknik thermopressing 2. Untuk merancang biofoam alami anti
bakteri
yang mempunyai kualitas lebih baik dari sterofoam yang ada di pasaran. Oleh karena itu dirancang biofoam alami anti bakteri dengan penerapan teknik thermopressing yang mempunyai kualitas lebih baik dari sterofoam yang ada di pasaran.
yang mempunyai kualitas lebih baik dari sterofoam yang ada di pasaran. Oleh karena itu dirancang biofoam alami anti bakteri dengan penerapan teknik thermopressing yang mempunyai kualitas lebih baik dari sterofoam yang ada di pasaran.
B. METODE
A. Prosedur
Penelitian
a. Metode literatur
digunakan untuk mencari informasi awal yang berkaitan dengan ide atau gagasan
dalam pembuatan biofoam alami anti bakteri dengan teknik thermopressing
b. Metode
eksperimen digunakan untuk memperoleh data yang berkaitan dengan kemampuan sorgum,
tongkol jagung, dan cangkang kepiting untuk menggantikan styrofoam yang sudah
ada dengan membandingkan keduanya dari segi kemampuan sebagai anti bakteri,
isolator panas, ketahanan panas, kedap air, ketahanan beban dan lama penguraian
dalam tanah.
B. Pembuatan biofoam alami anti bakteri
a.
Alat
1. Panci kukus
2. Presto
3. Alat Thermopressing
4. Microwave
5. Baskom
b. Bahan
1. 40 gram sorghum halus
2. 20 gram tongkol jagung
halus
3. 10 gram cangkang
kepiting
4. 30 gram gelatin nabati
5. 200 ml air
c.
Alur Pembuatan Biofoam
Alami Anti bakteri
1. Menyiapkan alat dan bahan
2. Menggiling sorghum hingga halus
3.
Menghaluskan tongkol jagung
4. Menghaluskan
cangkang kepiting yang sudah dikeringkan
5. Mencampur
sorghum, tongkol jagung dan cangkang kepiting ke dalam wadah
6. Merendam
adonan dengan air hingga larut
7. Mengukus adonan dan mencampurkan gelatin hingga
tekstur mengental
8. Mengangkat
dan mendinginkan
adonan
9. Mencetak adonan dengan teknik
thermopressing
10.Mengangkat
hasil cetakan
11.Pengurangan
kadar air dengan microwave
C. Analisa Perbandingan Kualitas dan Analisis
Data
a. Uji Anti Bakteri
Uji anti bakteri dilakukan dengan metode literatur yang didasari oleh
adanya kandungan anti mikroba pada
cangkang kepiting, proses thermopressing pada suhu 200oC, dan
kerapatan partikel biofoam yang tidak memungkinkan masuknya mikroba dalam
kemasan biofoam [14].
b. Analisis Perbandingan
Konduktifitas
Panas
Untuk mengetahui perbandingan kemampuan sebagai
isolator panas, kami menggunakan teknik Thermal Conductivity Apparatus
untuk membandingkan daya konduktivitas antara biofoam dengan styrofoam pada
umumnya. Caranya adalah dengan meletakkan es batu yang telah dicetak dengan
ukuran dan massa yang sama diatas biofoam dan styrofoam selama 20 menit dengan
menutupnya dengan plastik, dan mengamati penurunan berat atau massa es batu
mulai menit ke-5, menit ke-10, menit-15, dan menit ke- 20 [15]. Kemudian
mencatat hasil pengamatan pada tabel sebagai berikut.
Tabel 1. Perbandingan laju
penurunan berat es batu
Menit ke-
|
Biofoam
|
Styrofoam
|
5
|
||
10
|
||
15
|
||
20
|
c. Analisis Uji Ketahanan Panas
Untuk mengetahui dan membandingkan
kekuatan antara biofoam dan styrofoam dari segi ketahanan terhadap panas. Uji ketahanan terhadap panas
dilakukan dengan cara merendam biofoam dan styrofom dalam air panas bersuhu 65
selama 16 menit dan mendata perubahan tekstur kedua benda
pada menit ke-4, menit ke-8,
menit ke-12,
menit ke-16,
hingga diketahui perubahan tekstur yang signifikan pada kedua benda untuk
menentukan benda manakah yang memiliki ketahanan panas yang lebih baik [16]. Hasil
perbandingan tersebut akan di isikan pada tabel sebagai berikut:
Menit ke-
|
Biofoam
|
Styrofoam
|
4
|
||
8
|
||
12
|
||
16
|
Tabel 2. Perbandingan Ketahanan
Panas
d. Cara Analisis Uji
kedap air
Cara Analisis Uji kedap
air memperhatikan tiap biofoam dari segi kemampuan menahan massa air, tingkat
kerapatan, dan intensitas rembesan air [17]. Percobaan dilakukan dengan
menuangkan 400 ml air pada biofoam dan mengamati rembesan yang terjadi. Hasil
pengamatan akan di isikan dalam tabel sebagai berikut:
Kemampuan Menahan
Massa Air
|
Tingkat Kerapatan
|
Intensitas
Rembesan Air
|
Tabel 3. Uji kedap air
e. Cara
Analisis Uji Ketahanan Beban
Untuk mengetahui dan membandingkan
kekuatan antara biofoam dan styrofoam dari segi ketahanan terhadap kekuatan
dalam menahan beban [18]. Uji ketahanan beban
dilakukan dengan meletakkan beban dengan massa yang berbeda-beda pada biofoam
dan styrofoam pada ketebalan 3 mm dan mencatat setiap perubahan yang ditimbulkan
dari perlakuan pemberian beban yang berbeda pada kedua benda, mulai dari 75
gram, 175 gram, 250 gram, hingga 380 gram. Hasil
pengujian akan di masukkan ke dalam tabel sebagai berikut:
Tabel 4. Uji Ketahanan Beban
Massa
(gram)
|
Biofoam
|
Styrofoam
|
75
|
||
175
|
||
250
|
||
380
|
f. Cara
Analisis Proses Penguraian Biofoam Dalam Tanah
Untuk mengetahui proses penguraian
biofoam, kami memotong biofoam menjadi beberapa bagian lalu dikubur dalam media
tanah.. salah satu
factor yang dapat mempengaruhi degradasi adalah pH. Mikroorganisme pendegradasi plastik
mempunyai kemampuan mendegradasi hanya pada pH optimum. Kondisi biodegradasi yang terlalu ekstrim,
akan
menyebabkan
mikroorganisme yang ada
dialam akan mati. Proses penguraian
biofoam dalam tanah dilakukan selama tiga minggu pada sampel tanah sampah yang mempunyai pH yang cocok untuk memperoleh
hasil yang maksimal [19]. Cara ini dilakukan dengan membandingkan lama proses
degradasi styrofoam dan biofoam di dalam tanah.
C. HASIL DAN PEMBAHASAN
a. Hasil
1. Sorghum, tongkol jagung
dan cangkang kepiting dapat
digunakan sebagai biofoam alami
anti bakteri dengan penerapan teknik thermopressing.
2. Hasil analisa perbandingan sebagai isolator panas dengan massa awal es
batu 16,2 gram adalah sebagai berikut:
Tabel 1. Perbandingan laju
penurunan berat es batu
Menit ke-
|
Biofoam
|
Styrofoam
|
5
|
15,5
gram (Sedikit mencair)
|
13,1
gram (Sedikit mencair)
|
10
|
12,8
gram (Sedikit mencair)
|
10,5
gram (Seperempat es mencair)
|
15
|
9,2
gram (Seperempat es mencair)
|
7,8
gram (Setengah es mencair)
|
20
|
6,6
gram (Setengah es meleleh tapi terdapat sisa gumpalan es batu)
|
4,4
gram (Mencair, es hampir berubah menjadi air)
|
3. Hasil analisis uji ketahanan panas
adalah sebagai berikut.
Tabel 2. Perbandingan Ketahanan
Panas
Menit ke-
|
Biofoam
|
Styrofoam
|
4
|
Belum terlihat perubahan yang
jelas
|
Belum terlihat perubahan yang
jelas
|
8
|
Tekstur sedikit lunak
|
Tekturnya menjadi lebih tipis
|
12
|
Tekstur sedikit lunak
|
Tekturnya semakin menipis
|
16
|
Tetap utuh, namun agak lunak
|
Tipis, dan mudah robek
|
Kemampuan Menahan
Massa Air
|
Tingkat Kerapatan
|
Intensitas
Rembesan Air
|
Biofoam elastis, kuat, bagian bawahnya tidak memuai
|
Rata,
tidak ditemukan celah pada permukaan biofoam
|
Air
tertampung dan tidak dapat menembus
permukaan biofoam
|
4. Hasil
analisis biofoam sebagai bahan kedap air dengan volume air sebanyak 400 ml.
Tabel 3. Uji kedap air
5. Hasil analisis uji ketahanan
beban adalah sebagai berikut.
Massa
(gram)
|
Biofoam
|
Styrofoam
|
75
|
Dapat
menahan beban
|
Dapat
menahan beban
|
175
|
Dapat
menahan beban
|
Dapat
menahan beban
|
250
|
Dapat
menahan, namun mulai sedikit rapuh
|
Dapat
menahan, sedikit rapuh
|
380
|
Dapat
menahan, bagian bawah sedikit membentuk celah kecil
|
Dapat
menahan, tidak membentuk celah, namun hampir jebol
|
Tabel 4. Uji Ketahanan Beban
6. Hasil analisis proses penguraian biofoam
dalam tanah
• Minggu
Pertama : Terdapat potongan
biofoam pada tanah.
• Minggu
kedua : Potongan biofoam mulai bercampur dengan tanah dan hanya ditemukan serpihan tongkol jagung.
• Minggu
Ketiga : serpihan tongkol jagung
sudah tidak terlihat dan seluruh bagian biofoam telah terurai oleh tanah.
b. Pembahasan
1. Uji Anti Bakteri
Uji anti
bakteri dilakukan dengan metode literatur yang didasari oleh adanya kandungan anti mikroba pada cangkang
kepiting, proses thermopressing pada suhu 200oC, dan kerapatan
partikel biofoam yang tidak memungkinkan masuknya mikroba dalam kemasan biofoam
[14]. Cangkang kepiting mengandung presentase
kandungan kitin paling tinggi (70%)
diantara bangsa-bangsa
krustasea,
insekta, cacing maupun fungi.Kitosan
adalah merupakan bahan alami. Sebagai antibakteri, kitosan memiliki sifat mekanisme penghambatan,
dimana kitosan akan berikatan dengan protein membran sel, yaitu glutamat yang
merupakan komponen membran sel. Selain berikatan dengan protein membraner,
kitosan juga berikatan dengan fosfolipid membraner, terutama fosfatidil kolin,
sehingga meningkatkan permeabilitas inner membrane (IM). Naiknya
permeabilitas IM akan mempermudah keluarnya cairan sel. Pada E. coli misalnya,
setelah 60 menit, komponen enzim ß galaktosidase akan terlepas. Hal ini
menunjukkan bahwa sitoplasma dapat keluar sambil membawa metabolit lainnya,
atau dengan kata lain mengalami lisis, yang akan menghambatpembelahan sel
(regenerasi). Hal ini akan
menyebabkan kematian sel [20]. Dengan kandungan tersebut cangkang kepiting dapat dimanfaatkan
sebagai bahan anti bakteri.
2.
Analisis Perbandingan Sebagai Isolator Panas
Uji kemampuan sebagai isolator
dilakukan dengan meletakkan es batu yang telah dicetak dengan ukuran dan massa
awal yang sama diatas biofoam dan styrofoam, menutupi keduanya dengan plastik
selama 20 menit dan memperhatikan penurunan berat es batu. Berdasarkan
percobaan yang telah dilakukan, es batu dengan massa awal 16,2 gram, pada
menit ke-5, es batu yang diletakkan
diatas biofoam sedikit mencair dengan penurunan berat es sebear 15,5 gram
begitu pula pada styrofoam namun penurunannya mencapai 13,1 gram, pada menit
ke-10, es batu pada biofoam beratnya menjadi 12,8 gram atau masih sedikit
mencair, sedangkan pada styrofoam mencair seperempat bagian dengan penurunan es
batu mencapai 10,5 gram, dan pada menit ke-15 es batu pada biofoam mencair
seperempat bagian dengan massa 9,2 gram, sedangkan pada styrofoam sudah
setengah bagian yang mencair dengan massa 7,8 gram, dan pada menit ke-20
setengah bagian es pada biofoam mencair tapi terdapat sisa es batu dengan massa
akhir 6,6 gram sedangkan pada styrofoam mencair namun hampir berubah menjadi
air dengan massa akhir sebesar 4,4 gram. Dalam penelitian tersebut es pada biofoam mencair lebih lambat
disertai penurunan berat es batu yang lebih kecil dibandingkan styrofoam
sehingga memiliki kemampuan isolator panas yang lebih bagus dari styrofoam.
Kemampuan sebagai isolator panas didapatkan dari tongkol jagung, sehingga tongkol
jagung dapat menggantikan peran zat DOP dalam styrofoam yaitu selain bahan
pelentur dan mempertahankan teksturnya juga menjaga panas makanan didalamnya
agar tetap panas atau kemampuan isolator panas. DOP merupakan zat yang
mengandung benzen yang bersifat karsinogen [21]. Semakin panas makanan
yang diletakkan didalamnya, akan mempercepat laju perpindahan benzen ke makanan
tersebut. Dengan adanya tongkol jagung sebagai isolator panas, dapat
menggantikan peran DOP dalam styrofoam. Maka Biofoam yang terbuat dari sorgum, tongkol
jagung,dan cangkang kepiting
aman bagi kesehatan dan dapat menggantikan styrofoam di pasaran.
3. Analisis
Uji Ketahanan
Panas
Uji ketahanan panas dilakukan dengan
merendam biofoam dan styrofoam dengan air panas yang bersuhu 65
selama 12 menit, dan mencatat perubahan pada menit ke-6,
menit ke-8, menit ke-10, hingga menit ke-12. Pada menit ke-6, belum terlihat
perubahan yang jelas pada biofoam maupun styrofoam, pada menit ke-8, biofoam
menjadi sedikit lunak, sedangkan pada styrofoam teksturnya berubah menjadi
lebih tipis, pada menit ke10, tekstur biofoam menjadi sedikit lunak, sedangkan
pada styrofoam, teksturnya semakin menipis, dan pada menit ke-12 tekstur,
biofoam tetap utuh, namun menjadi agak lunak, sedangkan pada styrofoam,
teksturnya menjadi tipis dan mudah sobek. Dari percobaan yang telah dilakukan, Biofoam
memiliki ketahanan panas yang lebih baik daripada styrofoam. Sehingga Biofoam
dapat dijadikan alternatif pengganti styrofoam.
4. Analisis Biofoam Sebagai Bahan
Kedap Air
Berdasarkan percobaan
yang telah dilakukan dengan cara menuangkan 400 ml air pada biofoam,
membuktikan bahwa pada biofoam dengan ketebalan 3 mm yang dicetak menggunakan
teknik thermopressing memiliki kemampuan
menahan massa air yang sangat baik karena biofoam menunjukkan sifat yang
elastis namun kuat, dan bagian bawah biofoam sudah tidak mengalami pemuaian,
tingkat kerapatan biofoam sudah sangat baik, karena permukaan biofoam yang
sudah rata dan tidak ditemukan celah pada permukaan biofoam sehingga tidak ada
intensitas rembesan air pada bagian bawah biofoam yang menyebabkan air
tertampung pada permukaan biofoam. Hal ini juga didukung oleh
penelitian yang mengungkapkan bahwa semakin banyak jumlah kitosan yang ditambahkan semakin rendah persen water absorption (jumlah air yang terserap) [22].
5.Analisis
Uji Ketahanan Beban
Uji ketahanan beban
dilakukan untuk mengetahui dan membandingkan kekuatan dalam menahan beban
antara biofoam dan styrofoam. Uji ketahanan beban dilakukan dengan meletakkan
beban diatas biofoam dan styrofoam yang memiliki ketebalan yang sama, yaitu 2
mm dengan massa yang berbeda-beda mulai dari benda bermassa 75 gram, 175 gram,
250 gram, sampai 380 gram. Ketika biofoam dan styrofoam diberi beban bermassa
75 gram, kedua benda dapat menahan beban, pada beban bermassa 175 gram biofoam
dan styrofoam masih bisa menahan beban tersebut, pada beban bermassa 250 gram,
biofoam dan styrofoam masih bisa menahan beban namun mulai sedikit rapuh, dan
pada beban bermassa 380 gram biofoam masih bisa menahan beban namun pada bagian
bawah biofoam sedikit membentuk celah kecil, sedangkan pada styrofoam juga
masih bisa menahan beban, dan tidak membentuk celah, namun hampir jebol. Ini
membuktikan, bahwa biofoam memiliki ketahanan beban yang sama dengan styrofoam,
selain itu ketahanan beban juga dipengaruhi oleh tekstur yang padat dan kuat
suatu benda. Untuk mempertahankan struktur styrofoam, ditambahkan zat DOP yang
juga berfungsi sebagai zat pelentur yang bersifat karsinogenik ( pemicu kanker
). Sedangkan pada biofoam, kepadatan teksturnya diperoleh dari kandungan serat
pada sorgum serta penambahan cangkang kepiting yang mengandung kitosan yang berperan dalam peningkatan kuat tarik biofoam karena
kitosan memiliki gugus fungsi amin, hidroksil primer dan sekunder [23] sehingga aman bagi kesehatan dan dapat menjadi
alternatif pengganti styrofoam.
6. Analisis
Proses Penguraian Biofoam Dalam Tanah
Uji penguraian dilakukan untuk
mengetahui bahwa biofoam dapat terurai dalam tanah. Uji penguraian dilakukan
dengan memotong biofoam menjadi beberapa bagian, dan menguburnya dalam tanah dengan
pH optimal selama
tiga minggu, dan mencatat setiap perubahan mulai minggu pertama hingga minggu
ketiga. Dari penelitian yang telah dilakukan, diperoleh beberapa data. Pada
minggu pertama masih terlihat potongan biofoam pada tanah, di minggu kedua
potongan biofoam sudah tercampur dengan tanah namun masih terlihat sedikit serpihan
tongkol jagung
pada tanah, dan pada minggu ketiga sudah tidak terlihat serpihan
tongkol jagung
dan seluruh potongan biofoam sudah terurai oleh tanah. Dari penelitian tersebut
biofoam dapat
terurai secara alami dalam waktu 3 minggu, sedangkan pada styrofoam membutuhkan
waktu 500 tahun untuk bisa terurai bahkan hampir tidak bisa terurai [24] sehingga akan menumpuk dan
mencemari lingkungan yang juga akan berpengaruh negatif pada kesehatan manusia
di lingkungan tersebut. Maka biofoam
dapat menjadi alternatif pengganti styrofoam yang lebih ramah lingkungan.
F. KESIMPULAN DAN
SARAN
a. Kesimpulan
1. Sorghum,
tongkol jagung dan cangkang kepiting
dapat
dimanfaatkan sebagai biofoam alami
anti bakteri dengan penerapan teknik thermopressing.
2. Biofoam
alami anti bakteri
mempunyai kualitas yang lebih baik dari
sterofoam yang ada di pasaran.
b. Saran
1.
Diperlukan pengembangan lebih lanjut dari pembuatan
biofoam ini untuk memperoleh hasil yang lebih baik lagi.
2.
Dengan
adanya biofoam ini, diharapkan dapat meminimalkan penggunaan styrofoam
yang banyak memberi dampak negatif bagi kesehatan maupun lingkungan.
G. UCAPAN TERIMA KASIH
Puji syukur kepada Allah SWT, yang telah melimpahkan rahmat dan
hidayah-Nya kepada penulis. Sehingga penulis dapat menyelesaika laporan penelitian
ini dengan lancar.
tepat pada waktu yang telah disediakan.
Keberhasilan penulisan karya tulis ini tidak lepas dari bantuan
pihak-pihak yang terkait, karena itu penulis menyampaikan banyak terima kasih kepada:
1.
Kedua orang tua atas semua do’a, cinta, kasih sayang, dukungan, dan
perjuangan yang tiada henti-hentinya.
2.
Ibu Dra. Retno Suprijatingsih selaku Guru Pembimbing yang telah banyak
membantu dalam penyusunan laporan penelitian ini.
3.
Semua pihak yang telah membantu dalam penyusunan laporan penelitian ini,
baik secara langsung maupun tidak langsung.
Akhirnya kepada Allah SWT jualah
senantiasa penulis berharap semoga pengorbanan dan segala sesuatunya yang
dengan tulus dan ikhlas telah diberikan dan penulis dapatkan selalu mendapat
limpahan rahmat dan hidayah-Nya, Aamiin.
Lamongan, Agustus 2018
Penulis
H. DAFTAR PUSTAKA
1] Ayodya, W, 2007. Kursus Singkat Usaha Rumah Makan
Laris Manis. Jakarta: Alex
Media Komputindo.
[2] Husain, Izhar, dkk. 2015. Disposable Plastic Food Container and Its Impacts on Health. The
Journal of Energy and Environmental Science. Vol 3. April 2015
[3] Priyono,Yoppi Juli dan Nadia. 2014. Pengaruh Penggunaan Styrofoam Sebagai Pengganti Agregat Kasar Terhadap Kuat Tekan
Beton. Jurnal Konstruksia Vol.5 No.2 Agustus
2014
[4] Davis
G, Song JH. 2006. Biodegradable packaging
based on raw material from crops and
their impact on waste management. IndCrops Prod. 23:147 - 161.
[5]
Sirappa, M.P., Prospek Pengembangan Sorgum Di Indonesia
Sebagai Komoditas Alternatif Untuk Pangan,
Pakan, Dan Industri. Jurnal Litbang Pertanian, 22(4), 2003
[6]
Sudjarwo,
Eko. 2016. Bisa Jadi Pengganti Beras, Produksi Sorgum di
Lamongan Capai 6,5 Ton/Ha.
http://finance.detik.com/berita-ekonomi-bisnis/d-3323758/bisa-jadi-pengganti-beras-produksi-sorgum-di-lamongan-capai-65-tonha.
[6 maret 2018]
[7] Supranto. Tawfiequrrahman. A.,dan Yunanto.
D.E. Cabral C.DA dan Hanafi, A.2014, Pengaruh
Simultan Parameter Suhu dan Konsentrasi Larutan NaOH Terhadap
Kuantitas dan Kualitas Hasil Cellulose Serbuk pada Proses
Delignifikasi Tongkol Jagung. Jurnal Sains dan Teknologi Lingkungan,
Vol.6, No.2, Juni 2014, Hal. 86 – 97, Jakarta
[8] Sari,
Alvika Meta dan Ernawati, Pemanfaatan
Limbah Tongkol Jagung Menjadi Serbuk Selulosa
Dengan Proses Hidrolisa Untuk Aplikasi Hand Body Lotion, Simposium Nasional Teknologi Terapan (SNTT)
5 2017
[9] Adil Makmur Tarigan, dkk. 2015. Isolasi Selulosa Dari Tongkol Jagung Sebagai Bahan
Pengisi Pembuatan Tablet Klorfeniramin
Maleat Cetak Langsung. Jurnal ilmiah PANNMED Vol.10 No..1
Mei-Agustus
[10] Fachry, A.R.
Astuti, P. dan Puspitasari, T.G. 2013. Pembuatan Bioetanol
dari Limbah Tongkol Jagung dengan Variasi Konsentrasi Asam Klorida dan Waktu
Fermentasi. Jurnal Teknologi Kimia. No.1Vo. 19. Januari 2013. Surabaya.
[11] Trisnawati,
Elin, dkk. 2013 .Pembuatan Kitosan Dari Limbah
Cangkang Kepiting Sebagai
Bahan Pengawet Buah Duku Variasi Lama Pengawetan. Jurnal Teknik Kimia No. 2, Vol. 19,
April 2013
[12] Sarwono, R. 2010. Pemanfaatan Kitin / Kitosan Sebagai
Bahan Anti Mikroba. JKTI, VOL. 12, No.1, Juni 2010
[13] Saleh, Erna Rusliana Muhamad. 2014. Penentuan Kodisi Proses Terbaik Pembuatan Biofoam Dari
Limbah Pertanian Lokal Maluku Utara. Seminar Nasional Sains dan Teknologi
2014
Fakultas
Teknik Universitas Muhammadiyah Jakarta , 12 November 2014
[14] National Toxicology Service,
U.S. Department of Health Human Services., 2014. 13th
on Carcinogens
(RoC). http://ntp.niehs.nih.gov/pubhealth/roc/roc13/index.html
[8 Maret
2018]
[15]
Pratama,
Nanda, dkk.2016. Pengaruh Variasi Ukuran
Partikel Terhadap Nilai Konduktivitas Termal Papan Partikel Tongkol Jagung. PILLAR OF PHYSICS, Vol. 7. April 2016
[16] Krishnarao, R.V,
Subrahmanyam, J., and Kumar, T.J (2001) ‘Studies
on The Formation of Black Particles in
Rice Husk Silica Ash’, Journal of the European Ceramic Society, Vol. 21,
pp. 99-104.
[17] Chuai, C., Almdal, K., Poulsen, L.
and Plackett, D. (2001) ‘Conifer Fibres
as Reinforcing Materials for Polypropylene Based Composites’, J. Appl.
Polym. Sci., 80 (14), pp. 2833-2841. 11. Evert, R.F. (2006) „Esau's Plant
Anatomy: Meristems, Cells, and Tissues of the Plant Body: Their Structure,
Function, and Development‟, third Edition, John Wiley & Sons, USA. 35
[18]
Nugraha,
Paul dan Antoni. 2007.Teknologi
Beton.
Yogyakarta: Andi.
[19] Adam, S and
Clark, D., 2009.
Landfill Biodegradation An In Depth Look at Biodegraation in Landfill Environment, Biotec Environmental, Albuquerque & ENSO Bottles, LLC, Phoenix.
[20] Hargono dan M. Djaeni (2010), “Pemanfaatan dari
Kulit Udang sebagai Pelarut Lemak”, Prosiding Seminar Nasional
Teknik Kimia Indonesia.
[21] Tadinur. Dampak negatif kemasan makanan. Pikiran Rakyat Cyber Media.
[22] Schmidt, V.
C. (2006) Desenvolvimento de embalagens biodegrada´veis a partir da e´cula de cassava, calca´rio e
fibra de
cellulose, Rh. D. Dissertation, Universidade Federal de Santa Catarina (UFSC), Floriano´ polis, Brasil.
[23] Dallan, P. R. M., Moreira, P. da Luz., Petinari, L., Malmonge, S. M., Beppu, M. M., Genari, S. C., Moraes, A. M. (2006) Effects of chitosan solution
concentration
and incorporation
of chitin and glycerol on dense chitosan membrane properties, Journal of Biomedical Materials Research Part B: Applied Biomaterials, 394 – 405.
[24] Ghorpade, V.M., Gennadios, A., Hanna, M.A., Weller, C.L. (1995) Soy protein
isolate
polyethylene oxide
film, Biological System Engineering, 72(6), 559 – 563.